Kamis, 03 Juni 2010

Keluarga Bahagia


Begitu pentingnya masalah rumah tangga ini, sampai – sampai berulang dan berulang terus diingatkan. Keluarga adalah pondasi untuk membentuk masyarakat yang sehat dan kuat. Baiknya sebuah keluarga adalah baiknya masyarakat. Buruknya sebuah keluarga adalah cermin buruknya masyarakat. Hal ini dipahami betul oleh para ulama, sehingga tak jengah memberikan pituah agar setiap orang benar – benar berusaha membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang taat azas dan norma. Situasi ini menjadi concern para pengatur – pengurus bahwa rusaknya bagian kecil yang bernama keluarga, akan merusak tatanan yang besar yang disebut sebagai masyarakat dan bangsa.

Di sisi lain, situasi ini bisa juga dipahami bahwa sekarang ini sudah banyak gejala yang menandakan disharmoni rumah tangga di banyak tempat. Broken home. Maka, sebelum terlanjur, sebelum menggurita dan menyebar, dilakukanlah usaha – usaha preventif, permisif, semi intens, dengan seringnya diingatkan masalah pentingnya keluarga bahagia ini. Ayo, segera bangun tatanan keluarga baru dengan prinsip – prinsip yang benar. Ayo, segera perbaiki kesalahan – kesalahan mendasar dalam membentuk bangunan keluarga. Ayo, merubah pola dan paradigma dalam menjalin hubungan yang harmonis di dalam keluarga. Ada situasi, stimulus, pengaruh jaman, yang kudu direspon dengan baik dan benar yang sering disebut dengan ketahanan keluarga. Ciptakanlah ketahanan keluarga ini sebagai wujud nyata keharmonisan, sehingga menjadi sumbang sih – amal sholih kita dalam membangun masyarakat madani yang kuat menuju baldatun thoyyibatun warobbun ghofur.

Sebuah keluarga, terbentuknya diawali dengan suatu prosesi yang disebut perkawinan. Yaitu bertemunya dua sejoli untuk berjanji setia menyempurnakan agama dan saling menjaga dengan prinsip saling menghormat dan taat di dalamnya. Nah, sebelum terlanjur jauh melangkah, perlu rasanya menyamakan perpsepsi dulu di sini bahwa inti untuk membina keluarga bahagia adalah terciptanya hubungan timbal - balik yang baik antara suami dan istri. Karena merekalah lakon utamanya. Padanyalah bagaimana sebuah bahtera keluarga akan dibawa. Maju, mundur, goyang, oleng, baik, buruk dan sebagainya. Dari sini rasanya perlu menyimak sebuah cerita inspiratif dari Plato tentang esensi perkawinan.

Konon setelah Plato memahami arti cinta, suatu ketika Plato melanjutkan pertanyaan kepada Gurunya tentang perkawinan. “Guru, apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh menoleh dan berbalik mundur ke belakang. Dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling elok, paling kamu suka, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan.”
Plato pun berjalan menelusuri hutan itu dengan kecermatan yang tinggi. Matanya tak berkedip sekejap pun menjelajahi setiap batang pohon yang ditemuinya. Dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa sebuah pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang bagus, yang kelihatan segar dan subur, dan juga tidak terlalu tinggi. Besar pun tidak. Pohon itu biasa-biasa saja. Mungkin orang lain tak akan dan tak sudi mengambilnya.

Dengan arif Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memilih pohon yang seperti itu?”

Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, aku kuatir kalau ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat. Jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”.

Gurunya pun kemudian menjelaskan; “Dan, ya itulah perkawinan.”

Perkawinan adalah sebuah pilihan, yang kadang tak bisa diterima nalar, dari sekian banyak pilihan yang ada. Ketika pilihan itu sudah diambil, keputusan sudah dibuat, selanjutnya adalah memberi alasan bahwa pilihannya itu tidak salah. Caranya dengan mengenal lebih jauh terhadap pilihannya itu. Menemukan hal – hal yang baik dan positif pada pasangannya. Menyemai cinta. Memeluk persamaan dan mencerai perselisihan. Lakukanlah pengenalan pasangan ini seperti mengeksplor hutan kala pertama kali mendapatkannya. Maka akan terasa indah dan menakjubkan. Banyak hal yang ditemukan sebagai berkah - karunia Yang Kuasa. Sempurna. Jangan mengembalikan lagi ke hutan, niscaya hutan akan menenggelamkannya.

Dari Abu Huroiroh ra., ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda; “Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim).
Allah berfirman, “Dan gaulilah mereka istri dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa : 19).

Pilihan adalah bagian dari kepemimpinan. Wujudnya adalah sebuah tanggung jawab. Jadi, perkawinan merupakan sebuah kesempatan mempertanggung-jawabkan pilihan, dengan kesediaan masing – masing individu untuk berperan sesuai tugasnya dan menyesuaikan satu sama lain gaya kepemimpinannya, sehingga terbentuk pola hubungan – kerja sama dan komunikasi yang baik. Pada akhirnya terbentuk sebuah keluarga yang harmonis. Tanpa menyadari hal ini, semuanya tak berarti, walau sudah berpuluh tahun bersama. Salah – salah malah perpisahan yang ada. Tak lebih seperti memasukkan kembali batang pohon yang kita tebang ke dalam hutan muasalnya.

Oleh:Ustad.Faizunal Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar