Sabtu, 05 Juni 2010

Membangun Rumah Tangga


Terus terang, ketika pertama kali mengkaji surat an-Nisaa ayat 34, Ar-rijaalu qowwamuuna ‘alan nisaa’i……Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),,, betapa senangnya saya ini. Serasa di awang – awang. Terbayang betapa enaknya kaum lelaki. Dia adalah pemimpin buat kaum wanita, yang harus ditaati dan dihormati. Kayak raja, dilayani, dituruti segala perintahnya dan penuh wibawa. Apa yang diingini, keturutan. Apa yang dimaui kesampaian. Sungguh bayangan yang menghentak dan menggejolak. Bayangan kehidupan rumah tangga yang penuh euphoria dan kesenangan. Senang dan senang terus. Enak dan eunaaak sekali rasanya. Dan pengin segera memasukinya. Apalagi sang penyampai dengan lihainya mengurai dan menjelaskan. Bahkan dengan contoh – contohnya yang transparan. Penuh tawa dan canda, namun membuat tambah yakin dan gamblang. Misalnya, orang yang berkeluarga itu enaknya cuma 10 %. Kemudian sang penyampai berhenti bicara. Jeda ini membuat penasaran dan bertanya – tanya, sebelum sang mubaligh meneruskan. Sedangkan yang 90 % itu euunaak sekali.

Sudah begitu, nasehat bab ketaatan juga kenceng meluncur bak kereta cepat shinkansen, menjelaskan kalau wanita harus taat kepada suami, selain taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Suami adalah jembatan untuk masuk surga atau neraka bagi istri. Wuih, posisi yang strategis bukan? Kapan punya kesempatan seperti itu. Diperkuat dengan dalil – dalil yang sungguh dahsyat, seperti; Dari Abu Huroiroh ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Kalau seandainya aku boleh memerintah seseorang sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya.” (Rowahu at-Tirmidzi, dan ia berkata, ini hadits hasan shohih). Hadits ini menambah pede dan besar kepala ini saja, semata karena saya terlahir sebagai laki – laki. Itu jejak rekam yang terpendam dalam – dalam dalam sanubari ini. Ini semua factor ego, usia atau psikologi semata saya kurang tahu. Yang jelas begitulah yang kurasa waktu itu. Tegas dan jujur apa adanya.

Ayat di atas tidak salah, hadits itu tidak keliru. Penyampai dan penasihat juga tidak kaprah. Dalam koridor fungsi dan kewajibannya masing – masing, mereka telah menyampaikan amanat yang seharusnya disampaikan. Hanya hasrat besar saya yang membelokkan itu semua. Hanya nafsu besar mendapatkan kesenangan yang mengangkangi fakta yang ada. Menutupi hal lain yang seharusnya saya ketahui. Perlahan tapi pasti, satu per satu fakta mengemuka dan terkuak seiring berjalannya waktu.

Suatu ketika, di komplek saya tinggal sepasang suami istri. Sedangkan mayoritas di situ adalah mahasiswa yang bujang (lagi lapuk). Ketika sang suami mencuci baju tiap pagi, seorang teman berkomentar. “Punya istri kok nyuci baju sendiri,” katanya.

“Memang kenapa? Apakah ada larangan suami mencuci baju?”, timpal sang suami.

“Enggak sih, aneh saja,” balik teman saya.

“Nanti kamu akan tahu, kalau kamu sudah berkeluarga,” katanya dengan bijak.

Dialog itu tersimpan lama dan dalam di lemari memori saya. Realitas yang saya pikir belum bisa saya pahami waktu itu. Bergemuruh di dada. Apa arti ini semua? Ini adalah hal yang kontra produktif, batin saya. Bayangan yang indah itu seakan ternoda. Sedikit demi sedikit, yang pada akhirnya menuntun saya untuk mereposisi beberapa pemahaman yang ada. Entah kebetulan atau sengaja, pondasi – pondasi sebuah keluarga bahagia semakin tampak. Seiring bertambahnya ilmu dan kepahaman. Pilar – pilarnya semakin jelas. Dan alurnya semakin kentara. Lambat - laun gambaran raja semakin sirna. Lambat – laun turun tahta, menyadari akan arti pentingnya sebuah kerja sama dalam membangun sebuah biduk rumah tangga. Semuanya terkumpul, semuanya tersaji, sebelum menapakkan kaki ke jenjang rumah tangga yang sebenarnya. Sebelum semua terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar